SAKSI BISU GUNUNG MERAPI

Jumat, 14 Januari 2011



Newsrel- Jika benar pindahnya kerajaan Mataram Hindu ke Jawa Timur disebabkan oleh letusan gunung Merapi, tapi mengapa ratusan tahun kemudian kerajaan Mataram Islam, masih dibangun berdekatan dengan gunung tersebut ?

Itulah, pertanyaan yang sering kita dengar ketika memperhatikannya lewat sisi kebudayaan masyarakat Jawa. Sejak ratusan tahun yang lalu, gunung Merapi yang memiliki ketinggian 2968 m di atas permukaan laut (dpl) selalu tak terabaikan. Sejak era Mataram Hindu hingga Keraton Kesultanan Yogyakarta,Gunung Merapi hampir selalu menjadi saksi yang penting.

Menurut, pengamat gunung Merapi dari Belanda RW van Bemmelen yang datang ke Indonesia tahun 1930. Dalam buku yang berjudul The Geology of Indonesia ia menyimpulkan bahwa berakhirnya pemerintahan Rakai Samba Dyah Wawa sekaligus mengakhiri kerajaan Mataram Hindu ditengarai adanya letusan dahsyat gunung Merapi pada tahun 1006 M. Dari sinilah, muncul apa yang dimaksud pralaya.

Kebenaran asumsi Bemmelen disanggah arkeolog Boechari yang mendalami bidang epigrafi dan sejarawan sedyawati. Dengan bukti Prasasti Pucangan, pralaya tidak terjadi pada tahun 1006 melainkan pada tahun 1017.

Penyebab sebenarnya bukan Merapi, melainkan serangan Raja Wurawari dari Lwaram pada masa pemerintahan Darmawangsa Tguh (991- 1016 M).

Terlepas mana yang benar, yang jelas Gunung Merapi tetap saja dicatat sering mengeluarkan letusan dahsyat. Lihat saja Prasasti Rukam berangka tahun 829 saka (907 M) yang ditemukan di Temangung. Dalam prasasti tersebut disebutkan, peresmian desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa tersebut dilanda bencana letusan sebuah gunung berapi yang dimungkinkan itu adalah Merapi.

Lalu, jika Merapi sering meletus dahsyat. Mengapa setelah era Mataram Hindu sampai sekarang, masih saja ada kerajaan penerusnya juga yang dibangun sekitar Gunung Merapi ? Apa yang membuat Panembahan Senopati di abad XV tetap ingin mendekati Merapi dengan membangun Mataram Islam di Kotagede ? Juga apa alasan Pangeran Mangkubumi ( Sultan Hamengku Buwono I : 1747 M ) tatap saja mengikuti leluhurnya dengan membangun kerajaan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Karena Merapi adalah bagian dari kebudayaan Jawa. Masyarkat Jawa memandang Merapi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya,” ujar Bambang Subandono, pemerhati kebudayaan jawa sekaligus sebagai sekretaris PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur dan Ratu Boko.

Gunung Merapi semakin diyakini ditempatkan dalam posisi yang terkait dengan kebudayaan masyrakat Jawa. Dalam konsep Jawa Kuno, gunung begitupun gunung Merapi diyakini sebagai tempat tinggal roh leluhur. Hal itu sudah berlaku sejak zaman prasejarah dengan bukti punden berundak. Ketika memasuki zaman hindu, gunung masih saja dipandang sebagai tempat tinggal para Dewa.

1 komentar:

Newsrel-tim mengatakan...

;a:

Posting Komentar

Desinger by Blogger Template