Nurdin Halid Dengan Status Dan Analisis

Senin, 07 Maret 2011



Judul :Dosa- Dosa Nurdin Halid
Penulis: Erwiyantoro
Penerbit: Galangpress, Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal: 274 halaman

Abang tukang bakso, mari-mari sini, aku mau beli
Bihun partai ulang, kuah panas degradasi
Nikmatnya bakwan promosi, maknyusnya bakso gol
Mi keriting keputusan, semua ada...

Penggalan lagu anak-anak yang diubah syairnya itu diletakkan menyatu dengan foto Nurdin Halid. Jadilah ilustrasi seperti yang biasa muncul dalam demo-demo jalanan di negeri ini.

Kritik seperti itu terpampang dalam buku “Dosa- Dosa” Nurdin Halid, yang ditulis oleh Erwiyantoro. Karenanya, buku tersebut menjadi semacam demo dalam bentuk lain. Kebetulan,perederannya berbarengan dengan aksi massa. Tak hanya soal pro dan kontra Nurdin,tapi juga demo pada toko buku oleh penerbit, karena sebagian toko menolak menjual buku tersebut.

Diakui memang, “Dosa- Dosa” Nurdin Halid memang mahakarya yang kontroversi. Tetapi, banyak hal yang dibahas dengan sudut pandang yang menarik. Sekaligus bisa memberi gambaran mengapa, terjadi demo menolak pencalonan kembali Nurdin Halid menjadi Ketua Umum PSSI. Di luar Jakarta, kelompok pro status quo telah beraksi di Makassar dan Bandung. Sedangkan di Jakarta, Mereka dikabarkan unjuk rasa di bundaran Hotel Indonesia, Kantor Menpora dan Kompleks Stadion Gelora Bung Karno.
Di tengah merebaknya semangatnya menentang Nurdin Halid di berbagai tempat di Tanah Air, ternyata kekuatan Nurdin tidak siaga.

Keberanian para sekutunya untuk melawan, tidaklah mengherankan bila kita membaca apa yang dipaparkan dan diarsipkan mantan wartawan itu.

Selain menyajikan kumpulan tulisannya yang disebarluaskan lewat jejaring sosial Facebook dengan identitas Cocomeo Cacamarica, dia juga mengumpulkan beberapa liputan dan analisis orang lain. Dari semua itu,bagian paling menarik ada pembahasan seputar Kongres dan Sarasehan Sepak Bola Nasional di Malang tahun lalu.

Wartawan senior Yon Moeis menuliskan perjalanan rombongan wartawan seputar dari Malang dengan kereta api (hal:120), sekaligus mengingat apa yang terjadi saat kongres. “Kami berkaraoke bersama dan menguasai mikrofon, persis ketika orang- orang PSSI menguasai sidang Komisi A, “tulisnya.

Kesaksian tentang sepak bola terjang kubu Nurdin begitu banyak diungkap dengan prinsip- prinsip jurnalistik. Kita pun jadi ikut terhanyut, dan mengaku betapa luar biasannya kelompok itu. Dalam acara yang mereka tidak ikut, ternyata mampu dikuasai.
Jangankan meminta dirinya mundur seperti yang diduga banyak kalangan, untuk memunculkan rekomendasi yang lebih “meyakinkan” ternyata bisa dimentahkan oleh Nurdin dan orang-orangnya yang hadir di Kongres. Memang, itu peristiwa sekitar setahun lalu. Tetapi, karea tidak banyak orang mengetahui carut- marut yang terjadi di dalamnya, pengungkapan secara detail saat ini terasa perlu dan tepat waktu.
Kuat

Nurdin digambarkan mampu membentuk persekutuan yang kuat. Akhirnya kelomponya mampu menggerakkan sejumlah elemen, sehingga di atas angin dalam sidang-sidang termasuk saat sidang paripurna yang dipimpin oleh Agum Gumelar selaku Ketua Kongres Sepak Bola Nasional. Kekuatan mereka berhasil membuat poin kedelapan dalam rancangan rekomendasi dihilangkan.

“Sedangkan butir kedelapan yang juga sangat ditentang, yaitu adanya Dewan Sepak Bola Nasional, akhirnya dibuang oleh Agum Gumelar setelah kubu PSSI menolak, (hal:86), petikan dari tulisan Erwiyantoro sendiri itu sebelumnya telah diposting di facebook pada 1 april.

Sebagian besar isi buku memang bersumber dari facebook. Mulai dari analisis,laporan, sampai komentar-komentar singkat. Karenanya, buku ini begitu banyak memuat status facebooker, yang tanpa sensor. Hujatan-hujatan pun jadi mudah ditemui. Caci-maki dan bentuk-bentuk sarkasme lainnya pun seakan saling bersahutan.

Penulis buku berpendapat, semua komentardari para facebooker dan forum-forum media online berikut anekdot yang dicantumkan sengaja dijaga keasliannya demi menjaga keontentikan opini. Tentu saja tekad itu memunculkan kontroversi.

Memindahkan begitu saja produk jejaring sosial yang menomor satukan kebebasan ke dalam buku secara konvensional mempertimbangkan kesantunan, memang menjadi titik lemah buku ini. Dengan tampilan seperti itu, mau tidak mau buku ini identik dengan demo-demo di jalan.

Namun, melihat sosok Nurdin Halid yang terkesan begitu kuat di jajaran PSSI, sementara dia tak lagi dipercaya oleh penggemar sepak bola dan pemerintah, muncullah beragam kejengkelan yang menerabas batas.
Dalam level aksi massa, perlawanan mewujud dalam bentuk demo di berbagai tempat di Indonesia. Pada tataran perwujudan ide, muncul Liga Primer Indonesia (LPI), yang diprakarsai oleh Arifin Panigoro. Dan kini perlawanan Komunitas jejaring sosial dimonumenkan dalam bentuk buku.

(Disunting dari Suara Merdeka edisi 27 Februari 2011/ dengan sedikit perubahan)

0 komentar:

Posting Komentar

Desinger by Blogger Template