Kekerasan Yang Masuk Lewat Kebinekaan

Jumat, 25 Februari 2011




Kebinekaan atau yang lebih sering disebut kemajemukan adalah realita bangsa Indonesia. Dengan realita tersebut maka dalam hal etnis, bahasa dan agama tentunya Indonesia berhasil terbentuk oleh ikatan rasa senasib- sepenanggungan karena sama-sama dijajah Belanda. Ujian pertama adalah revolusi fisik (1945-1949) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Ujian ini berhasil dilewati bangsa Indonesia dan kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 agustus 1945 bisa dipertahankan, walaupun Belanda dengan segala upaya telah mendirikan negara- negara boneka. Kita masih ingat nama- nama negara, diantaranya Negara Sumatera Timur, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur.

Ujian berikutnya ialah pemberontakan bernuansa agama, yaitu saat DI/TII mendirikan negara di Indonesia dan melawan pemerintah pusat berhasil mengikat etnis- etnis yang ada. Kita ingat bahwa gerakan DI/TII juga terjadi di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan yang tentunya terdapat beragam etnis di wilayah- wilayah tersebut.

Untuk memadamkan pemberontakan ini pemerintah juga membutuhkan waktu lama, biaya yang besar. Tentunya, hal ini memberatkan bangsa Indonesia pada saat itu (1950-1960-an ) yang masih belia. Dari pelajaran ini, maka isu agam adalah isu yang strategis dalam arti mampu mengikat berbagai etnis yang ada untuk bersatu dan melakukan sesuatu.

Bila yang dilakukan ialah sesuatu yang membangun bagi bangsa, seperti menegakkan yang hak, memerangi kebatilan, menegakkan keadilan dan memberantas KKN. Tentunya, dapat memberikan kemaslahatan bagi bangsa. Namun, kalau yang dilakukan adalah pemaksaan kehendak yang tidak sejalan dengan konstitusi republik ini, maka akan menimbulkan permasalahan tersendiri.

Sejak merdeka dan mengalami berbagai perubahan konstitusi, bangsa Indonesia mantap dengan UUD 1945 yang kini telah mengalam 4 kali amandemen untuk penyempurnaannya.
UUD 1945 tidak mendudukan sebuah etnis, agama dan bahasa daerah tertentu menjadi dominan terhadap yang lain. Dengan demikian walaupun realitanya ada agama yang dianut mayoritas warga negara, bahasa yang dipakai mayoritas warga negara dan etnis yang jumlahnya besar ternyata tidak menjadikan mereka lebih tinggi di negara ini.

Dalam perspektif konstitusi, warga negara Indonesia setara. Mereka yang dalam posisi minoritas pun harus mendapat jaminan hak- hak dasarnya, dengan demikian tidak ada lagi pemaksaan dari suatu kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas yang terkait dengan dalih yang tidak berdasarkan konstitusi.

Bila ada permasalahan, maka sudah seharusnya kita mengacu kepada konstitusi atau aturan turunannya yang berlaku di negeri ini. Bukan menarik ayat atau ajaran tertentu. Konstitusi dan turunannya yang selalu menjadi acuan, dibarengi dengan tindakan tegas Pemerintah beserta aparaturnya yang mampu mempertahankan kemajemukan bangsa ini.

Nuansa agama

Belum lama ini, telah terjadi konflik horizontal yang bernuansa agama. Masih segar dalam ingatan kita dengan konflik di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten pada 6 Februari lalu, dan sehari setelah itu ( 7 Februari ) terjadi amuk masa menyerang tempat ibadah agama terntentu di Temanggung, Jawa Tengah.

Sebagaimana pembahasan di awal, sentimen agama adalah suatu hal yang sangat sensitif. Sehingga hal tersebut mampu, menghimpun kebersamaan yang menjadi sebuah kekuatan yang bisa melindungi ( mengayomi ) namun bisa juga malah merusak tatanan yang ada bila sampai terjadi tirani mayoritas.

Berdasarkan hasil penyelidikan terhadap kasus Cikeusik dan Temanggung sampai saat ini, tampak bahwa aparat tidak berhasil mencegah terjadinya kekerasan dan pengrusakan, apalagi mengantisipasinya. Dengan kata lain, aparat tidak berhasil menegakkan konstitusi sebagai solusi atas permasalahan yang sensitif tersebut.

Yang namanya melakukan penodaan agama, adalah sesuatu yang merugikan agama yang dinodai, serta menimbulkan amarah dari pihak yang dirugikan. Sehingga, menciptakan keresahan di Masyarakat. Pada titik ini, pemerintah dan aparat harus berupaya agar kemarahan dan kekecewaan ini tidak lepas kontrol dan menimbulkan ekses yang meluas. Melakukan pembiaran adalah perbuatan yang tidak menjunjung tinggi konstitusi. Melakukan pembiaran berarti membuka pintu kebinekaan sebagai kesempatan terjadinya kekerasan dan pengrusakan.

Penjelasannya, kebinekaan juga dapat diartikan ada “kami”dan “mereka” yang saling berkompetisi memperebutkan ruang- ruang yang ada di negeri ini. Pada saat negara dan aparatnya terlambat mengawal “kami” dan “mereka”,saat memperebukan ruang tersebut. Maka yang terjadi ialah konflik dan kekerasan, tirani mayoritas, dominasi yang tidak berdasarkan konstitusi.

Bila kebinekaan menjadi pintu masuk bagi kekerasan dan pemakasaan kehendak satu kelompokterhadap kelompok yang lain, maka berarti hancurnya kewibawaan negara.
Negara gagal merawat kemajemukan yang ada. Pertanyaannya, mengapa seakan tidak ada ketegasan pemerintah dalam mencegah konflik yang berpotensi terjadi dengan belajar dari pengalaman yang ada ? Sebagai contoh mengapa Kasus Ahmadiah juga tak kunjung selesai. Mengapa hanya membuat SKB yang “mengembang” sehingga tidak memuaskan banyak pihak. Dengan berbagai kegamangan ini maka wajar bila buncul dugaan, jangan- jangan kasus yang sensitif dan bernuansa agama “yang seksi” ini sengaja dirawat untuk mengalihkan isu-isu besar yang lain.

(dikutip dari Koran Suara Merdeka / 21 Februari 2011 )

0 komentar:

Posting Komentar

Desinger by Blogger Template